Skip to main content
Artikel

Stop Menggunakan Pasal 111, 112, 113 dan 114 Untuk Menahan dan Memenjarakan Penyalah Guna

Dibaca: 15557 Oleh 20 Apr 2020Desember 21st, 2020Tidak ada komentar
Stop Menggunakan Pasal 111, 112, 113 dan 114 Untuk Menahan dan Memenjarakan Penyalah Guna
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Penulis : DR. Anang Iskandar, SH.MH, Pegiat antinarkotika Nasional

Javanewsonline.com – Penyidik dan penuntut umum, stop menggunakan pasal 111, 112, 113, 114 untuk menjerat penyalah guna untuk diri sendiri, karena penyalah guna untuk diri sendiri diatur dalam pasal tersendiri yaitu 127 UU no 35/2009 tentang narkotika.

Pasal 111, 112, 113 dan 114 digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan kepemilikan narkotika secara umum, untuk diedarkan dan mencari keuntungan dari peredaran narkotika.

Stop Menggunakan Pasal 111, 112, 113 dan 114 Untuk Menahan dan Memenjarakan Penyalah Guna  Stop Menggunakan Pasal 111, 112, 113 dan 114 Untuk Menahan dan Memenjarakan Penyalah Guna

Seperti produsen narkotika, agen penjualan atau bandar narkotika, kurir maupun pengecer serta mereka yang memperoleh keuntungan dari transaksi narkotika illegal.

Sedangkan pasal 127 khusus untuk menjerat pelaku kejahatan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi yang disebut penyalah guna narkotika.

Stop Menggunakan Pasal 111, 112, 113 dan 114 Untuk Menahan dan Memenjarakan Penyalah Guna

Unsur pidana kejahatan kepemilikan narkotika antara pengedar dan penyalah guna hampir sama, hanya dibedakan pada tujuan kepemilikan.

Kalau kepemilikannya untuk digunakan sendiri, tidak dijual disebut penyalah guna, kalau kepemilikan narkotika untuk dijual disebut pengedar.

Penyalah guna dan pengedar harus dibedakan perlakuannya karena tujuan UU nya berbeda, terhadap pengedar diberantas dan terhadap penyalah guna dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi.

Beda penyalah guna dan pengedar dapat diketahui melalui jumlah barang buktinya, kalau jumlah terbatas untuk pemakaian sehari, menandakan pelaku adalah penyalah guna.

Kalau jumlah barang bukti kepemilikannya banyak menandakan sebagai pengedar.

Penyalah guna narkotika punya hubungan kejahatan dengan pengedar tetapi hubungan tersebut dalam penyidikan, penuntutan tidak boleh penyebab penyalah guna dituntut secara komulatif maupun subsidiaritas karena beda tujuan penegakan hukum.

UU narkotika menyatakan bahwa tujuan dibuatnya UU narkotika secara khusus menyatakan pengedar diberantas, sedangkan penyalah guna dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi.

Oleh karena itu penyidik dan jaksa penuntut “stop” menggunakan pasal 111, 112, 113, dan 114 untuk menjerat penyalah guna kecuali penyidik, jaksa penuntut telah menanyakan unsur pembeda antara penyalah guna dan pengedar.

Dengan pertanyaan : Untuk apa tersangka/terdakwa memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika ? apabila jawabannya untuk dijual atau mendapatkan keuntungan maka “sah” pelakunya dijerat pasal 111, 112, 113, 114.

Kalau jawaban tersangka/terdakwanya untuk digunakan sendiri atau dikonsumsi maka tidak sah menjerat pelaku dengan pasal 111, 112, 113 dan 114.

Masalahnya dalam praktek, justru penyidik tidak pernah menanyakan tujuan kepemilikan narkotikanya, dan penuntut umum juga tidak pernah menanyakan tujuan kepemilikannya dalam dakwaannya, ujuk-ujuk dijerat pasal 111 atau 112 atau 113 dan 114.

Misi Penyidik dan Jaksa.

Tujuan UU narkotika adalah memberantas pengedar (pasal 4c) dan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d).

Maka misi penyidik dan jaksa penuntut dan hakim dalam menanggulangi masalah narkotika bersifat represif terhadap pengedar dan rehabilitatif terhadap penyalah guna narkotika.

Tugas penyidik dan jaksa penuntut akan berhasil sesuai misi tersebut bila penyalah guna dan pengedar dibedakan secara proposional sesuai perannya dalam tindak pidana narkotika.

Penyalah guna disidik dan dituntut dengan pasal 127 sedangkan pengedar dituntut dengan pasal 111 atau 112 atau 113 dan 114.

Misi khusus hakim berdasarkan UU narkotika.

Dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika, penegakan hukumnya bersifat rehabilitatif maka hakim diberi wewenang oleh UU narkotika untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi (pasal 103).

Kewenangan tersebut bersifat wajib, terbukti salah maupun tidak terbukti salah, hukumannya rehabilitasi.
Petunjuk kepada hakim untuk menggunakan kewenangan yang berada dalam pasal 103 sudah ada yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung no 4 tahun 2010.

Intinya hakim dalam memeriksa perkara penyalahguna narkotika, diperlukan keterangan tentang taraf kecanduan dan waktu yang diperlukan untuk menjalani terapi dan rehabilitasinya melalui proses assesmen.

Kalau sekarang ini banyak pesohor yang menjadi penyalah guna dijerat pasal 111, 112, 113 dan 114 kemudian ditahan dalam proses penegakan hukumnya dan dijatuhi hukuman penjara. “Stop” jangan diteruskan.

Pemerintah sudah kuwalahan menangani lapas over kapasitas, Masak sih negara lain menutup penjara nya, Indonesia over kapasitas lebih dari 100 % akibat penyalah guna dipenjara.

Akibat penyalah guna dipenjara, negara secara tidak sadar juga menghasilkan residivisme penyalah guna narkotika akibat penyalah guna dihukum penjara, karena kesulitan untuk disembuhkan melalui rehabilitasi.

Dikalangan pesohor banyak yang jadi residivis penyalah gunaan narkotika keluar masuk penjara seperti Ibra, Jenniver Dunn, Rio Revan dan Tio Pakusadewo, dikalangan masyarakat jumlahnya sangat banyak.

Rehabilitasi itu bentuk hukuman berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Apakah hakim mengganggap menjatuhkan hukuman rehabilitasi itu tidak bergengsi?

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel